Udah ketiga kalinya jam beker di meja samping Lilla berbunyi dengan merdunya, namun udah ketiga kalinya pula Lilla mencoba mematikannya. Mtanya masih tertutup rapat, tubuhnya masihmerasakan hangatnya pelukan selimut warna biru kesaukaannya. Begitu pun guling bergambakan tweety – kartun kesukaannya - ikut menemaninya mengarungi indahnya mimpi.
Ia bermimpi sedang mengarungi danau nan indah dengan perahu kecil bersama seorang pangeran. Ia duduk menghadap pangeran yang sedang mendayungi perahu mereka, mereka tampak sngat bahagia, sesekali mereka tertawa bersama. Indah sekali memang. Keindahan sekeliling danau dan beberapa angsa putih yang berenang di samping mereka seakan menambah rasa akrab mereka.
Namun, tiba – tiba saja seekor angsa putih mengibaskan sayapnya didalam air. Tak dapat terhalang lagi, tubuh Lilla pun basah terkena cipratan air tersebut.
“woaaa”, Lilla terbangun dari mimpinya. Ia terduduk dan menerawang apa yang telah terjadi. Mana pangeran yang bersamanya tadi?
Jawabannya, NIHIL. Yang ada malah Kak Ari – kakak Lilla - yang sedang tertawa melihat lucunya wajah Lilla. Ditangannya ada gelas kosong. Rupanya, dialah si Angsa menyebalkan itu.
“Kak Ari……”, rasa sebal Lilla tak tertahankan lagi.
“woii, teriak – teriak kaya orang gila aja. Liat tuh udah jam berapa? Cewek kok bangunnya siang amat. Malu donk sama aku, meski aku cowok, cakep, cool, genius, gaul, tapi aku tetep bangun pagi. Liat aku tuh udah rapi, siap buat berangkat ke sekolah. Nah, kamu ngapain jam segini masih molor di tempat tidur? Bukan anak perawan yang baik”, ujar Kak Ari dengan tawa yang masih mengiringinya.
Huh, benar – benar menyebalkan. Udah bangunin orang seenaknya, eh, sekarang dia malah banggain diri sendiri kayak gitu. Ugh!!! Dasar pengganggu!, Lilla menggerutu dalam hati.
Segera ia meraih bantal guling di sampingnya, tak lama kemudian, bantal guling itu telah melayang di udara menghampiri Kak Ari yang berdiri di samping pintu. Gerak meluncur bantal guling itu memang cepat, namun lebih cepat gerakan Kak Ari, karena sebelum bantal itu mengenai sasarannya, Kak Ari telah menghilang di balik pintu. Dan itu makin membuat Lilla merasa kesal.
“ngapain lagi lo kesini?”, bentak Lilla kasar pada Kak Ari yang muncul lagi, gelas kosong masih saja berada di tangannya.
“eittz,,, jangan marah dulu donk adikku sayang, ada sesuatu yang pengen aku sampein, dan init uh sangat penting”
Kening Lilla mengkerut, sebagai tanda atau kata lain dari ‘apa?’. Kak Ari tersenyum, mukanya jadi sok imut banget.
“kenapa sih lo? Mo ngomong apa sama gue?”, nada bicara Lilla belum menurun seperti rasa kesalnya yang belum juga padam, “udah deh, cepetan. Jangan sampe ada peluncuran bantal guling untuk yang kedua kalinya”, Lilla mengancam.
“duh, jangan marah donk… aku Cuma pengen nitip salam aja buat Luna, he….”, Kak Ari nyengir kuda.
“udah? Gitu doank?”, Lilla memastikan.
“yupz, tolong dengan sangat jangan lupa disampein ya adikku sayang,,,? Oia, jangan lupa bicarain hal – hal yang baik aja ya tentang aku di depan dia”, Kak Ari menaik turunkan kaningnya. Lilla tersenyum kecut. Memang, kakak semata wayangnya itu udah lama naksir temen deketnya, Luna, makanya dia selalu manjadi tukang pos buat nyampein salam dari Kak Ari ke Luna. Sebenernya sebel juga sih dia, krena gak dapat imbalan apa – apa, hehe. Namun, dia bias seneng banget kalo nanti usahanya gak sia – sia jika Kakaknya itu bisa jadian sama sahabat karibnya.
Tunggu, kok Kak Ari udah nggendong tas sih? Emank udah jam berapa?, tanya Lilla dalam hati setelah Kak Ari pergi ninggalin dia.
Mata Lilla terbelalak kala ia mengetahui sudah pukul 6.31 tepat waktu menunjukkan di jam bekernya itu.
gubrakk!!!
Sekarang keadaan terbalik, kalo tadi dia nyantai benget sekarang dia malah kaya orang kesurupan kuda liar. Gugupnya minta ampun. Dia cuma punya waktu 29 menit untuk mandi, ganti baju, sarapan, jalan, dsb.
Hufft.
"Pak Maman tunggu..."
Dengan terponggoh - ponggoh Lilla berlari menghampiri Pak Satpam sekolahnya itu.
"Duh, neng. Kamu lagi, kamu lagi. Kenapa terlambat terus sih neng...."
"Maaf Pak, maaf banget. Tadi...oh iya, tadi kucing saya melahirkan Pak"
Duh, gubrakk. Ngapain dia ngasih alesan kalo kucingnya mati? apa pengaruhnya? hufft. emank gak ada alasan lain apa? Duh, bener - bego nih.
"aduh, neng...neng... kemaren alesannya macet kemarennya lagi gak dapet angkot, sekarang alesannya kucing si eneng ngelahirin, besok mau alesan apa lagi? alesan kalo ibu si eneng kawin lagi?"
Deg.
"enak aja, Ibu aku tuh udah punya suami, suaminya juga masih ada, ngapain kawin lagi?", bibir Lilla manyun.
Pak Maman malah terkekeh sambil ia menutup gerbang.
"eh, Pak. kok ditutup sih? Aku kan belum masuk?"
"eneng, udahlah, pulang aja kalo emang si eneng gak niat untuk berangkat sekolah"
"ya ampun, Pak. kalo aku gak niat sekolah ngapain juga aku gugup - gugup buat berangkat sekolah, Pak?", Lilla mencoba memberi penjelasan.
"lah, sekarang coba liat udah jam berapa?", tanya Pak Maman di balik gerbang.
Lilla melirik jam tangannya, "jam 7 lebih 10 menit", mata Lilla tak lepas menatap jam tangan warna biru yang kini melekat di tangannya itu, sesekali ia membenarkan letak poninya.
"nah, tuh kan, kalo telat 5 menit sih Bapak bisa toleran, tapi ini sudah 10 menit, Bapak gak bisa berbuat apa - apa, neng. Nanti Bapak dimarahi lagi sama Bu Della", terang Pak Maman panjang lebar, di wajahnya terlukis rasa takut kalau nanti dimarahi sama Bu Della, guru piket yang terkenal galak.
"yaaah, tadi kalo Bapak gak ngajak aku ngobrol pasti telatnya gak sampe 10 menit deh", ujar Lilla menyalahkan Pak Maman.
"iya juga ya neng", Lilla tersenyum, dia yakin kalo dia bakal berhasil.
"gak, neng", jawab Pak Maman tegas.
"nah lho, kan ini salah Bapak?", Lilla beralasan.
"iya, neng, gak bisa, sory ya?" ujar Pak Maman sebelum akhirnya ninggalin Lilla yang melongo.
Bibirnya makin manyun. Hampir saja dia melangkahkan kakinya tuk pergi ninggalin sekolahnya itu kalo dia tidak berpikir masuk sekolah lewat gerbang. Ya, memang lewat gerbang, tapikan gerbangnya udah ditutup? Hufft, mungkin dia harus naik gerbang itu. Gak ada jalan lain.
Kalo masalah jatuh sih gak terlalu dia pikirin. Tapi nanti kalo ada orang liat, terus nyangka dia maling gimana? aduh bingung juga.
Utuk beberapa detik, Lilla sempet ragu. Namun, daripada nanti ia pulang terus dimarahi mamanya lebih baik dia masuk naik gerbang deh.
Happ!!!
Akhirnya dia berhasil juga melewati gerbang nan penuh perjuangan itu. Dengan gayanya, dia membenarkan letak kerah yang sebenarnya gak kenapa – kenapa sebagai tanda kalo dia hebat. Hoho….
Dia lirik lagi jam di tangannya, kini waktu tekah menunjukkan pukul 7.20 menit. Wow, waktu yang mengerikan. Dia teringat kalo jam pelajaran pertama adalah pelajaran fisika, pelajaran Bu Della. Salah satu guru terkiller di sekolahnya itu.
“Duh, mampus deh”, ujar Lilla sambil menepuk jidatnya. Kemudian, tanpa pikir panjang lagi dia berlari.
Sebabnya, satu, dia takut semakin telat dan yang kedua takut nanti keburu kepergok sama Pak Maman, nanti bahaya.
Brukk!!!
Karena lari kencang dan gak liat – liat, Lilla terjatuh menabrak seseorang.
“Aduh… kalo jalan liat – liat donk…”, omel Lilla tanpa melihat kearah orang yang menabraknya.
“Sory ya, aku gak sengaja”, sang penabrak meminta maaf sambil mengulurkan tangannya pada Lilla yang jatuh.
Lilla melirik, dia melongo.
Dia terpaku menatap cowok yang kini ada di depannya. Ya, dialah orang yang udah nabrak Lilla. Wajah cowok itu manis, tampangnya sangat kalem, hidungnya mancung, alisnya tebal, dia benar – benar semakin terlihat manis dengan lesung pipit kecil di pipi sebelah kirinya. Tubuhnya tinggi tegap, kini dia tersenyum kearah Lilla. Senyumnya seakan menghipnotis Lilla saat ini.
“Oh, gak usah, biar aku berdiri sendiri aja”, ujar Lilla kikuk. Nada suaranya berubah 360 derajat, kalo tadi dia kasar, sekarang dia jadi supeeeer lembut, sampai – sampai dia memasang senyum termanisnya. Biar apa? Tahu sendirilah kenapa.
“Sekali lagi aku minta maaf ya? Aku benar – benar gak sengaja, aku tadi jalannya gak liat – liat soalnya aku lagi nyari kelas aku”, ujar cowok itu tanpa menarik senyuman dari wajahnya yang membuat Lilla semakin terpesona.
“oh, nggak kok, aku yang salah, tadi aku lari gak liat – liat, emmm… kamu murid baru ya?”, tanya Lilla memberanikan diri.
Cowok itu mengernyitkan keningnya dan mengangguk pelan. Matanya bagaikan mata elang yang mencekram kea rah Lilla. Diliatin kayak gitu Lilla makin kikuk aja. Dengan perlahan dia mengamati dirinya sendiri mulai dari kaki sampe kepala.
Kayaknya gak ada yang aneh deh penampilanku hari ini, sama kok kaya kemaren – kemaren. Gumam hatinya lirih.
“kenapa? Ada yang aneh ya sama aku?”, Lilla tersenyum kecut.
“sory, gak kok, kamu cantik lagi”, ucapan cowok itu membuat Lilla seakan melayang. Lilla segera menekuk dalam – dalam wajahnya, takut kalo nanti cowok iti liat perubahan wajahnya yang memerah. Bisa – bisa nanti dia kege’eran lagi, tapi kayaknya sekarang dirinya sendirilah yang sedang dilanda kege’eran akibat rayuan maut tu cowok.
Gila ni cowok, baru ketemu aja berani ngerayu aku, Lilla ngome dalam hati.
Cowok itu masih saja menatapnya, senyumnya masih saja mengembang. Di wajahnya terlukis rasa penasaran.
“Sory, aku udah telat nih, aku duluan ya?”, ujar Lilla kemudian sambil melirik kearah jam tangannya yang telah menunjukkan pukul 7.27 menit, lalu dia ambil langkah seribu dari tu cowok, dia benar – benar gak mau mati kaku di depan tu cowok.
Lilla mempercepat langkah kakinya, sekilas ia mendengar suara cowok itu menanyakan namanya, namun itu tetap tak menghentikan langkah kakinya. Hati nuraninya ingin sekali berbalik dan memberi tahu siapa namanya dan balik nanya siapa nama cowok itu, tapi dia takut, gak tau kenapa rasanya dia gak sanggup aja lama – lama berhadapan sama cowok itu. Hatinya selalu berdetak kencang.
Untung rem Lilla pakem, jadinya dia bisa ngerem mendadak langkahnya ketika nyampe tepat di depan kelasnya. Jam tangan Lilla udah nunjukin tepat pukul 7.30.
Duh, aku niat sekolah gak sih?, ribut Lilla dalam hati.
Lilla mencoba me-relaxkan diri sebelum akhirnya perlahan namun pasti dia mengetuk pintu kelas. Bagaikan genderang mau perang jantung Lilla ribut. Tangan Lilla bergetar, matanya merem melek. Setelah itu, suara langkah kaki berat mendekati pintu membuat Lilla ingin pingsan saja, karena itulah suara kaki Bu Della. Yang artinya sebentar lagi ia akan berhadapan dengan Bu Della. Apa yang akan dia katakana nanti? Hukuman apa yang akan ia terima nantinya? Oh God, bless me.
Klek!!!
Dia kemudian tersenyum kearah Bu Della mencoba mencairkan suasana tetapi tidak dengan Bu Della, wajahnya kini sangat dingin menatap Lilla, matanya tajam mencoba menyelidik Lilla dari ujung kepala sampe ujung kaki. Diliatin kaya gitu Lilla jadi makin deg – degan, rasanya ingin sekali saat itu juga ada sebuah kejadian apa aja deh, misalnya ada helicopter gitu, jadinya perhatian Bu Della mengalih pada helicopter itu terus dengan mudah ia bisa mengambil langkah seribu dari hadapan Bu Della. But, it’s impossible.
“ma – maaf, Bu, sa – saya telat”, Lilla mulai membuka suara, ia menekuk wajahnya dalam – dalam, sungguh ia tak berminat tuk menatap balas tatapan Bu Della, begitu sangat dingin.
“gak usah ngomong juga saya tahu kamu itu telat”, suara berat Bu Della bagaikan sambaran petir bagi Lilla, “sekarang kamu berdiri di depan”, ucapan Bu Della itu seakan menghipnotis Lilla saja, karena tanpa perintah kedua kalinya Lilla telah melangkahkan kakinya ke depan kelas tepat di samping papan tulis, kemudian ia mengangkat kaki kirinya dan meletakan tangan kanannya ke kuping kiri dan sebaliknya, lalu cling!!! Jadilah ia tontonan pagi ini bagi teman – teman sekelasnya.
Tapi tak apa, cause this is her daily activities untuk jam pelajaran pertama. Dan anehnya, biasanya ia selalu ngomel dalam hati, tapi kali ini ia melakukan semua itu tanpa ada beban sedikitpun terpancar di wajahnya. Pikirannya jauh menerawang membayangkan wajah cowok tadi, senyumannya masih saja terlukisdi hatinya kini. Apa mungkin ini yang namanya cinta??? Entahlah, Lilla bingung sendiri karena belum pernah ia merasakan indahnya jatuh cinta, pernah sih waktu dia kelas 1 SMP, udah lama banget. Itupun gak sampai pacaran, dan alhasil sampe sekarang udah kelas 2 SMA dia gak pernah menyentuh sesuatu hal yang namanya pacaran.
Bukannya dia gak laku, tapi dia belum nemuin aja orang yang tepat. Tapi kalo dibilang gak laku kayaknya emang dia gak laku deh. Buktinya aja gak ada satu orang pun yang nitip salam buat dia setiap hari kayak kakaknya itu yang selalu nitip salam buat Luna, temen deketnya. Hufft… nasib… nasib…]
Biarlah, yang penting sekarang dia udah menemukan cintanya. Dia janji bakal ngejar cintanya itu, apapun yang terjadi. Dia akan mencoba tuk deket ama tu cowok. Biar cita – citanya punya pacar idaman bias tercapai.
Mengingat hal itu, Lilla jadi senyam – senyum sendiri. Eittzzz… ngomong – ngomong nama tu cowok siapa yah?? Lilla membatin.
“aduh !!! bego !!!”, ujar Lilla setengah berteriak.
“apa? Berani – beraninya kamu bilang kalo ibu bego hah?”, omel Bu Della sambil menjewer telinga Lilla yang tadi gak sengaja teriak karena keasikan melamun.
“aduh… duh… Bu… sakiiit… ampun Bu…”, suara Lilla pasrah.
“sekarang kamu keluar, berdiri di depan dan jangan masuk sebelum istirahat. Paham?!”, cerocos Bu Della membuat seisi kelas merem – melek.
“i…iya, Bu”, Lilla menjawab dengan terbata – bata, kemudian ia keluar dengan tangan tak lepas memegangi telinganya yang terasa sakit akibat dijewer Bu Della tadi.
Langkah kaki Lilla semakin dipercepat, ia sangat berharap semoga di depan ada sebuah keajaiban yang membuat ia bias bertemu lagi dengan pangeran impiannya. Tapi, ia harus menelan ludah kekecewaan karena yang diharapkannya tadi tak terjadi. Di depan kelas ia hanya berdiri sendiri tanpa ada yang menemani. Hanya kucing yang mondar – mandir di depannya dan membuat Lilla makin menggerutu.
Hi… lagi ngapain kalian semua?”, tanya Lilla pada teman – temannya yang sedari tadi udah di kantin.
“huss…!!! Jangan berisik”, ujar Vita.
Karena penasaran, akhirnya dia lit juga apa yang sedang diamati sama sohib – sohibnya itu.
Dan alhasil, dia hanya bias mengelus – elus dada. Hufft. Ternyata kebiasaan ketiga sohibnya, Luna, Vita dan Tia, belum saja hilang. Yaitu heboh kalo liat cowok – cowok di sekolahnya. Dan sekarang mereka pun sedang melkukan hal itu, oh no. kalo emang mereka harus tergila – gila ama cowok – cowok kakak kelas dan harus sampe teriak – teriak histeris gak papa deh, dia masih bias maklum meski masih dongkol juga. Tapi, sekarang mereka malah lagi liatin plus ngagum – ngagumin cowok – cowok adik kelas, gila… ampun deh. Hufft. Bener – bener gak ada ndi hati Lilla.
“udah La, mereka emang gitu kan?”, ujar Luna sambil minum es di gelasnya. Diantara ketiga temennya, Cuma Luna yang paling bener menurutnya.
“oia, Lun kamu dapet salam dari kakakku”
“yang bener? Ya udah deh, salam balik aja”, ujar Luna dengan senyum mengembang di bibirnya. Lilla terkekeh melihat respon itu.
Lilla udah terbiasa mendapat respon bahagia dari Luna setelah ia menyampaikan salam dari kakaknya. Dan yang menjadi tanda tanya besar di benak Lilla, kenapa mereka gak jadian – jadian? Dia yakin mereka punya rasa yang sama sebenarnya. Dan kalo mereka ketemu di jalan atau pas Luna maen ke rumah Lilla, mereka Cuma senyum – senyuman doing. Gak lebih. Itulah sebabnya Lilla gak wisuda – wisuda dari kerjaan nyampein salam dari kak Ari ke Luna.